Header Ads Widget


 

"Ulama Peradaban" sebagai Transformasi Epistemologis: Sinergi dengan Kajian Sejarah Peradaban Islam dan Relevansinya terhadap Pendidikan dan Media



بِسْÙ…ِ ٱللَّٰÙ‡ِ ٱلرَّØ­ْÙ…َٰÙ†ِ ٱلرَّØ­ِيمِ

"Ulama Peradaban" sebagai Transformasi Epistemologis: Sinergi dengan Kajian Sejarah Peradaban Islam dan Relevansinya terhadap Pendidikan dan Media
Oleh : Tuan M Yoserizal Saragih, M.I.Kom Wakil Dekan 3 FIS UIN Sumut

(Refleksi Kunjungan jejak Fakultas Ilmu Sosial Dengan Balai Pelestarian Kebudayaan/BPK Wilayah II Prov. Sumatera Utara)

Menyelaraskan Peran Ulama dengan Tantangan Zaman

Konsep "Ulama Peradaban" muncul sebagai respons terhadap kompleksitas realitas global abad ke-21. Ia bukan sekadar perubahan peran, melainkan reformulasi epistemologis terhadap posisi ulama dalam masyarakat. Dalam sejarah peradaban Islam, peran ulama telah mengalami transformasi dari ahl al-‘ilmi (ahli ilmu) pada masa salaf, menjadi ahl al-ijtihad pada masa keemasan, hingga pada era modern berubah menjadi ahl al-tasyri’ (pembuat hukum) atau ahl al-dakwah (penyampai ajaran). Konsep "Ulama Peradaban" muncul sebagai koreksi hermeneutik terhadap reduksi peran ulama tersebut, dengan mengembalikan mereka ke posisi sebagai penjaga nilai peradaban (hifz al-hadarah), bukan hanya penjaga hukum (hifz al-syariah).

Penelitian ini bertujuan untuk:
1. Menganalisis akar historis, teologis, dan sosiologis konsep "Ulama Peradaban".
2. Mengidentifikasi dinamika transformasi peran ulama dalam konteks peradaban modern.
3. Mengintegrasikan konsep ini ke dalam kurikulum Sejarah Peradaban Islam di UIN Sumatera Utara.
4. Menjelaskan relevansinya terhadap pembentukan narasi jurnalistik yang beretika dan berbasis nilai.


Metodologi yang digunakan adalah analisis kualitatif terhadap dokumen kunci, dikombinasikan dengan studi literatur dari sumber-sumber akademik dalam bidang sejarah, teologi, sosiologi, dan komunikasi Islam.

Landasan Historis: Evolusi Peran Ulama dalam Peradaban Islam

Ulama sebagai Penjaga Syariat dan Penyeimbang Kekuasaan (Abad ke-8–13 M)

Dalam sejarah peradaban Islam klasik, ulama muncul sebagai kelas sosial yang independen setelah wafatnya Nabi Muhammad SAW. Mereka berperan sebagai penafsir Syariat dan penyeimbang kekuasaan politik, terutama pada masa Abbasiyah. Seperti dicatat dalam sejarah institusi keilmuan Islam, mereka tidak menjadi bagian dari birokrasi negara, melainkan membentuk otoritas moral yang diakui masyarakat (Hallaq,2009).

Keberadaan madrasah Nizamiyyah di abad ke-11 adalah bukti profesionalisasi keilmuan yang dilindungi oleh negara, namun tetap menjaga jarak dari intervensi politik langsung. Pada masa ini, ulama dianggap sebagai pewaris para nabi (waratsat al-anbiya’), bukan karena garis keturunan, melainkan karena peran mereka dalam menegakkan keadilan dan menjaga nilai-nilai ilahi.


Transformasi Peran Ulama di Era Modern (Abad ke-18–21 M)

Masuknya kolonialisme, modernitas sekuler, dan nasionalisme menyebabkan transformasi otoritas ulama. Mereka terpecah menjadi kelompok-kelompok yang berbeda: yang mengisolasi diri (asosiatif), yang terintegrasi dengan negara (institusional), dan yang bergerak secara revolusioner (revolusioner). Kritik al-Ghazali terhadap ulama yang terjebak dalam jabatan dan harta, yang diungkapkannya dalam Ihya ʿUlum al-Din, adalah fenomena yang semakin meluas di era modern.

Dalam konteks ini, konsep "Ulama Peradaban" muncul sebagai respons terhadap tantangan zaman, yang menuntut ulama untuk tidak hanya memahami teks, tetapi juga memahami realitas sosial, politik, dan lingkungan yang kompleks. Ia mengajak ulama untuk keluar dari ruang kelas dan pesantren, masuk ke arena peradaban global, dengan membawa nilai-nilai Islam yang universal: keadilan, kasih sayang, dan keberlanjutan.

Ket Foto Bapak Prof. Dr H Mesiono M.Pd Dekan FIS UIN Sumut bersama Bapak Sukronedi, S.Si., M.A. Kepala Balai Pelestarian Kebudayaan Wilayah II Sumut

Landasan Teologis: Dari Ilmu Syar’i ke Fiqh al-Hadarah

Tafsir Qur'an dan Konsep Taqwa sebagai Dasar Epistemologi Ulama

Surah Fatir ayat 28, "Sesungguhnya hanya orang-orang yang berilmu di antara hamba-hamba-Nya yang takut kepada Allah", merupakan landasan epistemologis bagi peran ulama. Dalam tafsir klasik, "ilmu" yang dimaksud bukan sekadar hafalan, melainkan ilmu yang menghasilkan khasyyah (takut kepada Allah), yang kemudian melahirkan taqwa. Ini menunjukkan bahwa ilmu pengetahuan dalam Islam bukanlah netral, melainkan harus menghasilkan transformasi moral.

Konsep "Ulama Peradaban" mengembangkan tafsir ini dengan menekankan bahwa ketakwaan tidak hanya bersifat individual, tetapi juga kolektif dan peradaban. Ulama dituntut untuk takut kepada Allah dalam menghadapi isu-isu global seperti perubahan iklim, konflik identitas, dan krisis kemanusiaan.

Fiqh al-Hadarah: Ijtihad Baru dalam Usul al-Fikih

Salah satu kontribusi paling signifikan dari konsep ini adalah pengembangan fiqh al-hadarah (fikih peradaban). Dalam usul al-fikih klasik, maqasid al-syariah (tujuan syariah) terdiri dari lima: menjaga agama, jiwa, akal, keturunan, dan harta. Konsep fiqh al-hadarah memperluas maqasid ini dengan menambahkan kelestarian alam, perdamaian global, dan keragaman budaya sebagai nilai yang harus dilindungi.

Ini merupakan bentuk ijtihad jama’i (ijtihad kolektif) yang didasarkan pada prinsip maslahah mursalah (kebaikan umum). Dengan demikian, konsep ini tidak bertentangan dengan syariah, melainkan merupakan aplikasi kontekstual dari prinsip-prinsip universal syariah terhadap realitas abad ke-21.

Analisis Sosial: Ulama sebagai Agen Perubahan Sosial

Dalam perspektif sosiologi, ulama dapat dilihat sebagai agen perubahan sosial (social change agents). Konsep "Ulama Peradaban" menggeser posisi mereka dari posisi reactive (bereaksi terhadap perubahan) menjadi proactive (menginisiasi perubahan). Hal ini sejalan dengan teori perubahan sosial Robert K. Merton, yang menekankan pentingnya struktur institusional dalam memfasilitasi perubahan.

Dokumen menyebutkan adanya jaringan institusi yang berfungsi sebagai lembaga mediasi antara lokalitas dan globalitas. Ini menunjukkan bahwa transformasi peran ulama tidak bisa terjadi tanpa dukungan struktural dan jaringan global.

Relevansi terhadap Kurikulum Sejarah Peradaban Islam di UIN Sumatera Utara

Jurusan Sejarah Peradaban Islam di Fakultas Ilmu Sosial, UIN Sumatera Utara, memiliki peran strategis dalam mengintegrasikan konsep "Ulama Peradaban" ke dalam kurikulum. Beberapa usulan konkret:

1. Pengembangan Mata Kuliah Baru:
Fiqh al-Hadarah: Fikih Kontemporer dalam Konteks Global Ulama dan Transformasi Sosial di Nusantara Sejarah Intelektual Islam Modern
2. Pendekatan Interdisipliner:
Mengintegrasikan metode sejarah, sosiologi, antropologi, dan ilmu politik.
3. Penekanan pada Nilai Universal:
Menyoroti aspek kemanusiaan, keadilan, dan keberlanjutan dalam sejarah peradaban Islam.
4. Studi Kasus Lokal:
Menganalisis tokoh-tokoh ulama di Sumatera Utara yang telah berperan dalam pelestarian budaya dan perdamaian.

Ket Foto: Bapak Sukronedi, S.Si., M.A. Kepala Balai Pelestarian Kebudayaan Wilayah II Sumut bersama Tuan M Yoserizal Saragih, M.I.Kom Wakil Dekan 3 FIS UIN Sumut

Relevansi terhadap Kajian Jurnalistik: Membentuk Narasi Berbasis Nilai

Konsep "Ulama Peradaban" memiliki implikasi besar terhadap dunia jurnalistik. Ia menawarkan alternatif narasi:
- Ulama sebagai Pelindung Lingkungan
- Ulama sebagai Diplomat Perdamaian
- Ulama sebagai Pendidik Multikultural

Dengan demikian, jurnalistik dapat menjadi alat untuk mengaktualisasikan nilai-nilai peradaban.
Konsep "Ulama Peradaban" merupakan sebuah paradigma pemikiran yang revolusioner namun berakar kuat dalam tradisi Islam. Ulama - Pesantren menyinari ke arena peradaban global dengan membawa nilai-nilai Islam yang universal, Rahmatan Lil 'Alamiin.
Integrasi konsep ini ke dalam kurikulum akan melahirkan generasi ulama dan intelektual  Ulul Albab sebagai patron zaman ‘alimun bi al-nusus wa al-zaman.

صَÙ„َّÙ‰ اللهُ عَÙ„َÙ‰ Ù…ُØ­َÙ…َّد صَÙ„َّÙ‰ اللهُ عَÙ„َÙŠْÙ‡ِ ÙˆَسَÙ„َّÙ…َ

Posting Komentar

0 Komentar